Wawanca Direktur UPI Kampus Cibiru, Asep
Herry Hernawan:
Sukses Belajar Dengan Ilmu Tukang Pancing
![]() |
| Asep Herry Hernawan |
Indonesia
adalah negara yang besar. Terbentang jauh dari Sabang sampai Merauke. Dari
tahun ke tahun pendidikan Indonesia selalu menjadi sorotan. Terutama dalam segi
kualitas. Disvarietas yang tinggi menjadi tantangan sendiri bagi perkembangan
pendidikan Indonesia. Sampai dikatakan bahwa pendidikan Indonesia berada dalam
posisi paling rendah di kawasan Asia. Begitupun jika dibandingkan dengan negara
Vietnam, yang ternyata menduduki kualitas pendidikan di atas Indonesia.
Hal itu selaras dengan berita yang dimuat
dalam harian Kompas. Dekat dengan
suasana hari pendidikan nasional, tepatnya pada Jum’at (27/04). Terdapat berita
dengan judul Kualitas Pendidikan Rendah.
Hal ini selayaknya menjadi teguran sekaligus bahan evaluasi bagi pemerintah.
Agar pendidikan dapat lebih diperhatikan. Sebagaimana Vietnam yang memiliki tagline yang mendukung penuh pendidikan.
Tagline ini dipopulerkan oleh Ho Chi
Minh, sebagai salah satu tokoh revolusi di Vietnam. “No education, no economy.” Yang menunjukkan bahwa pendidikan itu sangat
penting, dan besar pengaruhnya bagi kemajuan ekonomi.
Begitupun kualitas pendidikan yang dinilai
rendah ini, diiringi juga dengan hal yang lain. Sebagaimana dikatakan oleh
Inisiator Semua Murid Semua Guru (SMSG), Najelaa Shihab. Di Jakarta mencontohkan.
Bahwa hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2015,
menempatkan kemampuan literasi, sains dan matematika yang rendah. Demikian pula
dari hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia yang dilakukan Pusat Penilaian
Pendidikan dan Kebudayaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayan tahun 2016.
Persentasi pencapaian siswa yang kurang di bidang matematika mencapai 77,13%
persen siswa, di bidang sains 73,61% persen, serta membaca 46,83% (Kompas, 27-04-2018).
Oleh karena itu bagaimana sebenarnya upaya
pemerintah dalam menanggulangi hal ini. Dan mengapa pendidikan Indonesia berada
di bawah Vietnam. Juga posisi pendidikan Indonesia yang rendah di Asia.
Sebenarnya apa faktor penyebabnya, apakah sumber daya guru pula berkaitan
dengan hal ini. Apakah mungkin Indonesia dapat menjadi negara dengan pendidikan
yang maju.
Pada hari Senin (07/05), saya, Moch. Rizqi
Hijriah mahasiswa jurnalistik Unpad,
berkesempatan untuk menggali pandangan dan opini dari narasumber.
Wawancara terlaksana di ruang Program Studi Perpustakaan, Gedung Fakultas Ilmu
Pendidikan (FIP) UPI Kampus Bumi Siliwangi. Ia menyambut pewawancara dengan
senyuman yang hangat, juga logat bahasa Sunda yang menjadi khas.
Setelah melaksanakan acara di UPI Kampus
Bumi Siliwangi. Pria yang menempuh pendidikan tinggi S1 hingga S3 di UPI ini
berbicara banyak terkait kualitas pendidikan Indonesia. Sebagai doktor bidang
kurikulum, Asep Herry paham betul dengan kondisi pendidikan Indonesia. Berikut
petikan wawancara dari doktor bidang kurikulum sekaligus Direktur UPI Kampus
Cibiru tersebut.
Mengapa
sistem pendidikan Indonesia tertinggal dengan negara lain, termasuk tertinggal
dari Vietnam?
Itu mungkin pembaginya yang banyak,
penduduknya yang banyak. Jadi kalo di rata-ratakan rendah, karena terlalu
banyak penduduknya. Kan kalo di Vietnam atau Finladia, hanya berapa
penduduknya. Jadi mengatakan kualitas rendah itu harus ada rasionalnya. Kalo di
kota-kota tinggi-tinggi. Bahkan ada yang rata-rata rapotnya yang 100, juga
rata-rata nilai ujian nasional (UN) ada yang 100. Artinya pada bagian tertentu
tidak rendah, cuman kalau sampe ke rata. Rata-rata kan dihitung tengah-tengah
ya, atau dijumlahkan pembaginya berapa. Nah kalau kita kan pembaginya banyak.
Terus kan kondisi Indonesia itu dari yang
sangat tidak maju, hingga yang sangat maju. Rentangannya sangat jauh begitu,
kalau Finlandia, Vietnam, Jepang negara yang relatif kecil. Itu satu ya, bukan
mempetahankan, tidak rendah bukan. Karena tadi itu, alasan yang pertama kita
kan negaranya besar dan sangat bervariasi. Variasinya sangat luas, sehingga
kalau dirata-ratakan itu dapatnya rendah. Itu satu.
Kedua karena, variasinya sangat banyak
sehingga kualitas gurunya juga bervariasi. Ada guru yang tinggi kompetensinya,
ada juga guru yang rendah. Jadi terkait kualitas pendidikan Indonesia itu
banyak faktor. Terutama kita belum mencapai standar pendidikans secara optimal.
Standar sudah punya namun, bagaimana
implementasi dari standar itu yang masih belum bisa diimplementasikan
sebaik-baiknya. Misalnya standar guru minimal harus S1, tetapi masih ada
ratusan ribu guru yang belum S1. Standar sarana dan pra sarana tidak merata,
pada umumnya belum mencapai sekolah. Ada memang yang sudah melebihi, tapi kan
tidak terlalu banyak. Misalnya standar pembiayaan bersama, standarnya ada
tetapi belum mencapai standar itu. Standar pengelolaan, sampai standar
kurikulumnya.
Nah kita kan punya empat standar yang
terkait dengan kurikulum itu. Ada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), standar
isi, standar proses pembelajarannya, standar peniliannya. Kalau mengatakan
pendidikan itu rendah, atau belum mencapai standar. Diantara karenanya memang,
pelaksana pendidikan belum banyak memahami standar-standar itu.
Lalu dalam proses pembelajaran itu, yang
paling utama. Standar kompetensi lulusan dan standar isi itu sudah ditetapkan
oleh pemerintah. Tapi standar proses itu sangat tergantung kepada sekolah. Guru
terutama, bagaimana guru melaksanakan proses pembelajaran sesuai standar.
Karena variasinya sangat banyak, jadi mungkin masih banyak guru yang melaksanakan
proses pembelajaran dengan standar tadi. Misalnya dalam merencanakan
pembelajaran yang berkualitas, masih banyak guru yang belum bagus dalam
merencanakan. Ini berdampak juga pada hasilnya. Pelaksanaan yang bagus, berasal
dari perencanaan yang bagus.
Kemudian dalam melaksanakan proses
pembelajaran, masih banyak juga guru yang belum mencapai standar. Cara
menggunakan media, cara mengajar, keterampilan menyampaikan, keterampilan
mengelola kelas, keterampilan memotivasi. Banyak, keterampilan guru yang masih
harus ditingkatkan.
Cara mengevaluasi, memberikan penilaian
banyak yang harus diperbaiki. Secara umumnya standar proses pembelajaran itu
belum bisa mencapai standar yang telah ditetapkan. Padahal itu merupakan
standar minimum. Jadi dalam hal itu saja sudah banyak masalah, belum masalah
pendidikan itu sangat luas.
Tanggung jawab kualitas pendidikan bukan
hanya pemerintah, tapi masyarakat, orang tua, kemudian lembaga-lembaga yang
lain. Harus care terhadap pendidikan.
Maka tadi Anda katakan mengapa pendidikan Vietnam lebih maju daripada
Indonesia. Karena tagline saja sudah
menunjukkan perhatian besar terhadap pendidikan.
Maka Ho Chi Minh itu mengatakan “No education, no economy”. Maka ekonomi
akan maju jika pendidikan maju. Menunjukkan pendidikan itu hal yang besar,
menentukan ekonomi. Kalau dikita kadang-kadang, No economy, No education tidak ada uang tidak bisa ikut belajar.
Jadi Tidak ada uang, tidak ada pendidikan. Kasarnya begitu, berbeda dengan
Vietnam tadi.
Kemudian ada istilah “No Teacher, No Education”, jadi pendidikan akan maju, jika guru
maju. Maka dalam segi pendidikan, Vietnam dapat dikatakan lebih maju
dibandingkan dengan kita. Bahkan guru-gurunya telah disiapkan untuk di impor ke
negara lain. Jangan-jangan ke Indonesia ha-ha-ha.
Mengapa
Kesenjangan Pendidikan di Indonesia masih tinggi?
Disvarietasnya sangat tinggi, tadi saya
katakan luas negara kita itu luar biasa. Sudah luas, terpencal-pencal. Jika
dipedalaman itu jangan berbicara tentang matematika tingkat SMA. Karena masih
ada pula siswa SMA yang masih belum bisa membaca. Jadi faktor geografis yang
luas dan bervariasi. Maka itu urusannya dengan pemerataan pendidikan agak sulit
karena faktor geografis itu. Hal itu berkaitan dengan SDM yang bervariasi pula.
Kalau diperkotaan saya pikir sudah bagus, bahkan prestasi di perkotaan sudah
bagus-bagus.
Upaya
agar pendidikan Indonesia dapat mencapai standar?
Standar guru itu menurut undang-undang
adalah sarjana ditambah dengan sertifikat profesi. Nah itu upaya pemerintah
agar pendidikan Indonesia dapat mencapai standar. Walaupun, masalahnya tidak
selesai dengan hal itu. Misalnya sekarang mengadakan moratorium pengangkatan
PNS, itu menghambat juga. Kebutuhan misalnya 7000 orang guru per tahun.
Sedangkan yang dihasilkan dari pendidikan profesi guru itu hanya sedikit. Maka
tidak imbang. Tapi ini usaha dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Dari aspek tenaga pendidik, yaitu dengan meningkatkan kualifikasi.
Bagaimana
dengan peminat program studi pendidikan pada seleksi masuk perguruan tinggi?
Ini berhubungan dengan rekrutmen calon
guru. Atau mahasiswa yang berminat menjadi guru atau tenaga pendidik. Itu
tergantung juga dengan prodi yang dipilih, layaknya program studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang peminatnya tinggi. Artinya orang yang berminat
menjadi guru sekolah dasar banyak.
Mengapa
situasi gawat darurat hanya diatasi secara insidental saja?
Yah itu mah sudah takdirnya Indonesia. Karena alokasi pendidikan masih
belum sesuai apa yang diharapkan, bisa dikatakan begitu. Yang mengikuti
pendidikannya banyak sekali, biaya pemerintah untuk pendidikan menjadi sangat
besar. Maka karena sangat besar, dicari dulu hal apa yang harus diprioritaskan.
Tidak bisa secara menyeluruh, harus secara bertahap. Karena tadi untuk
menyeluruh diperlukan biaya yang sangat besar.
Di Indonesia itu masalah pemerataan saja
masih belum tuntas, belum ke kualitas. Maka jika berbicara pemerataan maka
jangan dulu bicara kualitas. Ratakan saja dulu, baru kualitas. Jika berbicara
kualitas, maka jangan ingin merata. Karena sulit di Indonesia itu yang merata
dan berkualitas. Sebagaimana disebutkan, di daerah-daerah terpencil pendidikan
begitu kurang. Berbeda dengan di kota-kota yang mana pendidikan telah cukup
maju.
Maka wajar saja jika setiap pelaksanaan
ujian nasional selalu menghadapi kendala. Karena ujian nasional itu berkaitan
dengan kualitas, tetapi faktor-faktor penting lain belum merata. Tetapi jika
menunggu merata kapan?, jadinya dilematis. Jadi artinya peningkatan kualitas
itu agak sulit merata. Maka untuk daerah-daerah terpencil tidak bisa dituntut
sama dengan kota-kota besar. Itu tidak adil.
Terkhusus
kurikulum sekarang sudah berbasis teknologi ya Pak?
Ya, itu persoalan juga. Kurikulumnya sudah
berbasis teknologi, mungkin untuk kota-kota bisa berjalan. Tetapi dengan daerah
terpencil akan terkendala. Maka ini juga urusannya dengan pemerataan
pendidikan. Cuma jika ada keinginan pemerintah untuk meratakan teknologi, maka
akan menjadi peluang besar bagi dunia pendidikan.
Artinya orang tidak lagi mengakses
pendidikan terlalu jauh. Dengan tidak menggunakan model tatap muka melainkan
daring. Infrastrukturnya ada, sistemnya dibangun akan bisa menanggulangi aspek
pendidikan dengan teknologi. Jadi teknologi pendidikan ini berpeluang untuk
pemerataan dan kualitas. Nanti meningkatkan aspek kualitas dan bisa sejalur.
Apa
hal yang menjadikan kompetensi siswa dalam bidang literasi, sains dan
matematika rendah? Apa Upayanya?
Banyak, bisa faktor gurunya. Jika dituntut
literasi siswa rendah, maka mungkin juga faktor literasi gurunya rendah. Begitu
pun dengan matematika dan sains, bisa saja di aspek gurunya atau sarana
pra-sarananya. Jadi jika dikatakan rendah, maka cek saja bagaimana sarana pra-sarananya,
bagaimana pengajarnya. Tetapi dalam paparan berita ini, tidak ada ukurannya.
Karena untuk mengukur pendidikan itu harus ada ukurannya.
Literasi, berkaitan dengan minat baca. Maka
Indonesia pun minat bacanya masih rendah, bukan hanya siswa saja. Untuk bahan
bacaan tidak kurang, sudah berlimpah. Nah ini bagaimana pemerintah agar bisa
memasukan aspek literasi dalam kurikulum. Seperti 15 menit sebelum masuk
memulai kegiatan belajar mengajar (KBM), siswa-siswa membaca apa saja. Dipimpin
oleh guru, begitupun gurunya yang ikut membaca. Itulah Gerakan Literasi Sekolah
(GLS).
Apakah
dengan bergantinya kurikulum dapat meningkatkan kualitas pendidikan?
Pergantian kurikulum itu disesuaikan dengan
tuntutan. Sebenarnya jika kurikulum dapat diiplementasikan dengan baik, itu
kualitas pendidikan dapat meningkat. Boleh dikatakan, kurikulum berapa pun jika
implementasinya bagus, maka hasilnya akan bagus. Tetapi jika kurikulum bagus
tapi implementasinya tidak bagus, maka hasilnya pun tidak akan bagus. Maka yang
menjadi persoalan ialah bukan kurikulum sebagai dokumennya, tetapi dalam
implementasinya.
Tentu mengapa kurikulum itu berubah,
karena sesuai dengan tuntutannya. Tuntutan sekarang ke arah teknologi, tuntutan
global. Itu bagus tetapi jika implementasinya tidak bagus, maka hasilnya pun
tidak akan bagus. Jadi kurikulum harus bagus dari aspek dokumennya, tetapi
harus jauh lebih bagus dalam aspek implementasinya.
Hal
apa yang perlu dibenahi dalam pendidikan Indonesia?
Implementasinya. Faktor di dalam
implementasi kurikulum itu banyak, faktor siswanya, gurunya, sarana
pra-sarannya, pembiayaannya, kebijakan yang ada. Maka banyak aspek yang sangat
berpengaruh. Kelemahan di kita itu justru di implementasinya. Dalam
implementasinya banyak persoalan. Oleh karena itu mengapa disini dikatakan
kualitas pendidikan rendah, karena implementasinya.
Negara
mana yang menjadi acuan Indonesia dalam dunia pendidikan?
Sementara ini negara yang menjadi banchmark kurikulum 2013, yang
digembar-gemborkan oleh para pelatih kurikulum adalah negara Finlandia. Rektor
kami juga baru pulang dari Finlandia. Yaitu melihat kondisi di sana, dan menerapkan apa yang bisa diterapkan di sini. Tetapi menurut
saya harus ada penyesuaian-penyesuaian. Karena belum tentu juga cocok dengan
kita.
Begitupun di Jepang, pendidikan di sana sudah sangat bagus. Terlihat
Jepang serius dalam pendidikan. Oleh karena itu mereka dapat lebih maju
pendidikannya ketimbang kita. Tetapi di kita juga sebenarnya sudah bagus jika
di kota-kota. Ya itu tadi, karena kita negara besar, maka disvarietasnya juga
tinggi.
Apa
tanggapan Anda tentang transisi dari literasi cetak ke digital?
Artinya zaman sudah berubah, tuntutan pun
sudah berubah kita harus bijak. Ini situasi yang tidak bisa kita tolak. Ini
bagaimana kita bisa mengemas bahan bacaan itu yang tadinya printed material ke digital. Ini butuh kemampuan dari pihak-pihak
tertentu, dari guru khusunya untuk mengikuti perkembangan. Guru dituntut
bagaimana bisa menyesuaikan itu. Bagaimana guru memindahkan materi-materi yang
diajarkan itu dalam bentuk lain. Bisa diakses oleh siswa dengan menggunakan
perantara. Misal dengan perantara mobile
learning, bisa diakses menggunakan tablet.
Jadi guru bukan hanya dituntut untuk
menguasai materi tetapi, bagaimana dia bisa mengemas. Bsagaimana dia tahu untuk cara
memperoleh informasi itu. Agar bisa diajarkan pada anak didik.
Tuntutan lain bagi guru adalah, bagaimana
seorang guru dapat membimbing anak menguasai cara belajar. Bukan harus
menguasai apa yang dipelajari di buku. Jadi guru itu tidak menyampaikan materi
saja.
Jadi ilmu tukang pancing dipake. Jadi ikan
(ilmu) itu tidak diberikan secara langsung, “Nih ikan makan.” Tetapi diberi
kail, anak suruh mencari ikan sendiri dengan kail. Sebelumnya anak diajari dulu
bagaimana menggunakan kail. Agar bisa mendapatkan ikan yang banyak. Maka guru
itu bagaimana caranya agar bisa mengajarkan anak untuk menggunakan kail tadi.
Atau bisa menggunakan cara memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Itulah hal
yang harus dilakukan pada era sekarang.
Sehingga guru itu bisa mengajarkan cara
belajar “learning, teaching how to learn.”
Bukan menyampaikan materi pelajaran. Karena dengan itu, derasnya arus informasi
tidak akan tersampaikan oleh guru. Jadi harus ada sesi tertentu informasi itu
didapatkan oleh siswa.
Jadi itulah teknologi pendidikan sangat
berpeluang besar. Bukan hanya produknya tetapi juga sistemnya. Ini tantangan
berat, gurunya harus kreatif. Care terhadap
ilmu, care terhadap teknologi. Maka
menjadi harapan besar bagi guru-guru muda, agar dapat mengembangkan sistem
pengajaran kreatif.
Tanggapan
Anda, tentang tujuan pendidikan yang rendah karena sekadar formalitas untuk
mendapatkan ijazah?
Ya itu hanya common sense atau kecenderungan umum. Seharusnya membaca dulu, ya
itu anggapan ketika orang tua menyekolahkan anaknya. Padahal sebenarnya tidak.
Sekarang itu ada Standar Kompetensi Lulusan (SKL), ketika anak sudah lulus dari
SD itu bisa apa. Bukan mengejar ujian, mengejar SMP yang favorit. Lulus SMP,
mengejar SMA yang favorit. Itu sebenarnya bukan tujuan dari pendidikan.
Walaupun kecenderungan umum mungkin seperti itu.
Padahal pendidikan punya tujuan, tidak ada
tujuan pendidikan tertulis agar anak bisa melanjutkan kesekolah favorit. Cuman
memang kita melihat kondisi di masyarakat, banyak anggapan bahwa lulus SMP
harus masuk SMA favorit. Yang jelasnya tidak demikian. Misal tujuannya
menjadikan anak beriman dan bertaqwa.
Namun yang dipertanyakan, apakah tujuan
dari pendidikan Indonesia sudah tercapai atau belum. Bukan apakah anak masuk
SMA favorit atau tidak, tetapi kompetensi anak sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan.

Komentar
Posting Komentar