Wawancara Mantan Pemimpin Redaksi Kolom Mingguan Mahasiswa Indonesia,
Rum Aly:
Konglomerasi Media Sebabkan Jurnalis
Jadi Kuli Tinta
![]() |
Rum Aly, saat
diwawancarai di kediamannya bertempat di Jalan Andes 70, Grand Pinus Regency,
Soekarno-Hatta, Bandung pada hari Jum’at, 18 Mei 2018. FOTO: MOCH RIZQI HIJRIAH
|
Mahasiswa memiliki peran penting dalam perjalanan politik Indonesia. Pada tahun 1966, mahasiswa harus diakui sebagai kekuatan. Yang mana pemerintah perlu tahu apa yang mereka mau dan ke mana arah yang mereka akan tempuh. Sebagaimana jalan yang ditempuh oleh beberapa mahasiswa angkatan 66. Ada yang berperan sebagai aktivis, ada pula yang aktif sebagai jurnalis. Adapun Rum Aly sendiri, mengaku sebagai aktivis tetapi lebih banyak sebagai seorang jurnalis. Ia mengaku bahwa keikutsertaannya terjun menjadi aktivis pers di Mingguan Mahasiswa Indonesia, memberikan kesempatan mengikuti berbagai proses perubahan politik yang terjadi di Indonesia dan bertemu sejumlah besar pelaku sejarah dari waktu ke waktu.
Saat sekolah di SMA Katolik Makasar,
sewaktu peristiwa 30 September 1965 ia masih menjadi siswa kelas tiga SMA. Saat
SMA pula Rum Aly menjadi Ketua Organisasi Siswa, ia mendirikan majalah sekolah.
Majalahnya dijual, dan cukup diminati. Dari sekitar 500 siswa, 300an menjadi
pembeli. Di dalamnya terdapat konten politik, yang referensinya dari majalah
mahasiswa Bandung Gelora Teknologi, jurnal ITB dan brosur-brosur gelap
yang isinya sangat kritis seperti anti-Soekarno, anti-Komunis, kultus individu,
anti-otoriterisme, prodemokrasi. Waktu itu pada tahun 1963 terdapat Kongres MMI
(Majelis Mahasiswa Indonesia) yang diadakan di Malino. Sejak saat itu datanglah
para aktivis mahasiswa dari penjuru tanah air dan biasa berkunjung ke rumahnya
di daerah Malino. Dari sana ia banyak berinteraksi dengan mereka.
Sewaktu kemudian Rum Aly menjadi
mahasiswa di Bandung pada tahun 1967, tak lama setelah pecahnya Peristiwa 30
September 1965. Masih pada tahun pertama kemahasiswaan, Ia ditawari bergabung
di Mingguan Mahasiswa Indonesia yang didirikan Juni 1966 oleh sejumlah
aktivis mahasiswa anti-Soekarno. Rum Aly sempat menjadi mahasiswa jurusan
Biologi ITB sekaligus Psikologi Unpad, namun tidak satu pun yang sampai ke
ujung. Sambil bekerja, akhirnya Rum Aly melanjutkan studi hingga strata dua di
kampus swasta Jakarta.
Pria kelahiran Makasar, 4 Februari
1947 ini memulai karirnya sebagai jurnalis diawali sebagai reporter,
staf redaksi, redaksi sampai akhirnya menjadi pemimpin redaksi. Rum mengaku
bahwa menjadi jurnalis merupakan pengaruh dari orangtuanya. Ibunya bekerja
sebagai Redaktur (rubrik bahasa) di surat kabar Makasar dan Ayahya bekerja
sebagai Jaksa, ia mengenalnya sebagai sosok yang bersih dan paham betul tentang
masalah hukum. Tetapi pada akhirnya Mingguan Mahasiswa Indonesia
dibreidel Kopkamtib/Kopkamtibda dan dicabut SIT (Surat Izin Terbit)nya oleh Menteri
Penerangan dengan dikenakan 9 tuduhan berat pada tahun 1974.
Kiranya apa saja yang sembilan
tuduhan yang menyebabkan Mingguan Mahasiswa Indonesia dibredel? Sebenarnya
seperti apa kondisi pers pada saat itu? Apakah terdapat perbedaan dalam
pemaknaan Orde Baru? Juga perbedaan kondisi sebelum tahun 1960 dan setelah
tahun 1960?
Hal ini dijawab panjang lebar oleh
Rum Aly, di kediamannya yang bertempat di Grand Pinus Regency, daerah
Soekarno-Hatta, pada hari Jum’at, 18 Mei 2018. Dengan santai juga bahasanya
yang khas ia menuturkan setiap kejadian dengan runut dan jelas, meskipun pada
saat itu ia perlu menghadiri sebuah pertemuan di Jakarta. Namun hal yang
disampaikan selama lebih kurang 38 menit sangatlah berharga dan membuka
lebar-lebar sejarah pergerakan di Indonesia, khususnya pergerakan yang
dilakukan mahasiswa. Diperkaya dengan ilmu dan pengalamannya yang telah
dituangkan ke dalam buku, antara lain Menyilang Jalan Kekuasaan Otoriter
dan Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 – Mitos dan Dilema: Mahasiswa
dalam Proses Perubahan Politik Indonesia: 1965-1970. Berikut petikan
wawancaranya saya.
Bagaimana kondisi pers pada masa Orde Baru?
Kita harus bicara dari kondisi pers pada zaman Soekarno. Bukan
sebelum 1960, tetapi sesudah 1960. Sebelum 60, kondisi pers itu bebas sejalan
dengan kondisi sistem politik kita yang parlementer. Cuma ada keresahan
dikalangan tentara maupun di Soekarno sendiri. bahwa ini kita kebablasan ini.
belum biasa dengan adanya perbedaan pendapat yang terlalu tajam. Dan itu di
sitem parlementer 1965, hasil pemilihan umum 1955 itu terjadi.
Pers mencerminkan bebas, bahkan sangat bebas. Tetapi mulai tahun
1960, sesudah Dekrit Presiden 5 Juli tahun 1959, pers makin dikungkung batas
kebebasannya. Pers bebas seperti Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis. Itu
antara lain dibredel, Mochtar Lubis nya juga dimasukan ke penjara. Tanpa
kesalahan apapun, kecuali berbeda pendapat dengan Soekarno. Jadi bukan dengan
rezim, tetapi dengan Soekarno dan pengikut-pengikutnya.
Kemudian suasana itulah pers umumnya menjadi, pers diwajibkan
antara tahun 1960 sampai 1965 itu. Semua pers harus punya induk, induk
organisasi. Bahkan misalnya PNI punya Sulu Indonesia, di daerah
harian-harian yang ada. Ada Sulu
Indonesia edisi Sulawesi Selatan, Sulu Indonesia edisi mana. Harus
ada cantelannya ke atas. PKI punya Harian Rakyat, kelompok komunis yang
menjadi pendukung-pendukung ideologi yang sama BAPPERKI punya Warta Bakti, iya
toh. Tentara juga akhirnya bikin, Angkatan Bersenjata. Kemudian kelompok
politik Islam, Harian Abadi. Di zaman Soekarno juga hidup Harian
Pedoman, Rosihan Anwar. Agak independen tetapi di cap dia PSI. Jadi begitu
situasi pers itu begitu terkendali. Tidak boleh bersuara yang berbeda dengan
Presiden, tidak boleh berbeda suara dengan rezim. Tidak boleh anti Manipol
(Manifesto Politik). Usdek itu konsepnya ajaran Soekarno yang monolitik dalam
konteks demokrasi terpimpin.
Terus suasana pers itu di Bandung misalnya Pikiran Rakyat betul-betul
surat kabar yang tidak mempunyai keberanian, tetapi agak force
menariknya adalah surat kabar-surat kabar yang bernaung secara langsung atau
tidak langsung dari PKI. Karena PKI ini berani dan merasa terlindungi oleh
Soekarno. Kenapa merasa terlindungi dan lain sebagainya ada di sini (Buku Titik
Silang Jalan Kekuasaan 1966). Jadi sampai tahun 1966 Agitprop (Agitasi dan
Propaganda). Itu sebenarnya istilah komunis, tetapi semua jadi corong. Begitu
terjadi semua peristiwa 1965, mahasiswa mulai bergerak. Mahasiswa Bandung
menjadi pelopor.
Masih sekitar 2 Oktober, Alex Rumondor dan kawan-kawan, tokoh Pers
Indonesia yang merupakan mahasiswa Bandung sudah meyakini bahwa PKI dibelakang
peristiwa G30S, meskipun Soekarno tidak ingin mengakui.
Tetapi pers, kemudian Kompas muncul pada tahun 1965. Tetapi
sangat moderat, dan moderatnya saya rasa terbawa sampai sekarang ya. Agak Safety
Player, dia berani mengkritik kepada yang dianggap kekuatannya lemah. Kalo
dianggap kuat dia gak pernah berani. Jadi dia itu sebagai kompensasi, (Saya
tidak menjelekkan Kompas). Dia bukan semata-mata pengecut, DPR yang
dianggapnya sebagai memang lemah.
Institusi yang ada sekarang ini paling lemah diantara Trias
Politica itu kan DPR. Karena DPR terdiri dari berbagai fraksi partai, jadi
tidak ada kekuatannya yang padu. Tidak punya kekuatan pukul, kalo eksekutif,
apalagi militer kan punya kekuatan pukul balik. You bisa ditangkap,
ditindak, ditelepon balik, paling enggak ditakut-takutin. Tapi DPR kan gak
bisa. Makannya DPR juga belakangan minta MD3 itu kan. Karena dia betul-betul
digebukin, dia gak bisa balas. Jadi di satu pihak kita kecewa dan maki-maki
DPR, tetapi sebenarnya itu institusi yang harus dikasihani. Dikasihani dalam
artian, semuanya itu adalah cermin dari situasi sosial politik kita, iya toh.
Nah, jadi pers itu betul-betul gak bebas, tiba-tiba muncul rentetan
menarik. Muncul harian KAMI, Juni 1966. Hampir sama, bersamaan waktu muncul
mingguan Mahasiswa Indonesia di Jakarta, 19 Juni edisi pusat. Di Bandung
Rahman Tolleng mendirikan edisi Jawa Barat, tapi edisi pusat itu tidak lama.
Tidak sampai dengan akhir tahun 1966 sudah bubar. Jadi disebut mingguan Mahasiswa
Indonesia itu yang terbit di Bandung. Kemudian juga pernah coba, edisi Jawa
timur, edisi Yogyakarta tapi gak panjang semua umurnya. Ini menurut Francois
Reillon, aspek kualitatif mingguan Mahasiswa Indonesia di Bandung ini
diasuh oleh mahasiswa-mahasiswa atau tokoh-tokoh mahasiswa yang memiliki
kemampuan jurnalistik yang baik. Memiliki kemampuan analisa dan intelektual
yang baik dan kemudian juga banyak dosen-dosen yang ikut menulis.
Kemudian ada sinergi terjadi, sehingga terkemuka. Nyatanya, kalo
memang bentuk jurnalistik yang paling ideal dan termasuk dalam hal integritas
dan keberanian sebagainya adalah mingguan Mahasiswa Indonesia, dia
sebutkan itu (Francois Reillon). Kemudian dia sebut majalah Tempo sedikit
mewarisi, tetapi kalo mau jujur (Cuma orang Tempo gak mau ngakuin)
sebenarnya majalah Tempo itu banyak terinspirasi oleh MI, termasuk ada
berapa gaya MI dia suka ikut.
Jadi itu situasinya dan pers pada waktu itu termasuk harian KAMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Jakarta, itu tidak terlalu berani, jadi
menonjol dan berintegritas ini adalah mingguan Mahasiswa Indonesia. Koran
Kompas ya, disebut dengan Komando Pastur sangat berhati-hati. Sinar
Harapan aja yang diasuh oleh orang-orang Kristen, ini bukan pembedaan
berdasarkan SARA tapi fakta, realitas politik pada waktu itu, agak berani. Cuma
maju-mudur juga, nah kemudian terbit kembali Indonesia Raya.
Hanya mungkin pertimbangan Soeharto apa, sejak ada Indonesia
Raya, mingguan Mahasiswa Indonesia seolah memiliki teman. Juga Indonesia
Raya seolah mendapat teman. Sehingga dua ini, sampai akhirnya Indonesia
Raya dan mingguan Mahasiswa Indonesia berakhir dengan pembredelan di
tahun 74, setelah peristiwa Malari. Bukan karena terlibat peristiwa Malari,
karena mahasiswa juga mengkritik peristiwa Malari yang dilakukan oleh Hariman
CS. Itu karena dia terlibat juga dalam
berpihakan, masuk dalam skenario pertarungan kekuasaan. Mahasiswa Bandung
gamau, namun Hariman CS menerima bonus itu bahwa mereka pahlawan.
Saat ruang gerak pers dibatasi, apakah ada teknik pemberitaan secara
khusus?
Pada waktu itu kondisi pers serba penakut, kalo ada berita hangat
ada tekniknya. Indonesia Raya maupun Sinar Harapan, dia kutip
mingguan Mahasiswa Indonesia seperti misalnya peristiwa yang terjadi,
peristiwa 5 Agustus 1973. Mahasiswa Indonesia itu memberitakan lengkap
dengan peta kerusuhan Bandung. Kira-kira latar belakangnya, selain masalah
rasialisme ada masalah lain. Nah, semua koran itu dihimbau oleh Kopkamtib,
“Jangan dimuat.” Maka tidak dimuat. Termasuk saya sendiri ditelepon, tetap saja
saya muat.
Indonesia Raya mengutip
lengkap dengan peta-petanya. Sinar Harapan mengutip separuh, hampir semua
tetapi biasalah sebagian seolah-olah buatan dia. Tapi itu tidak menjadi
persoalan bagi kita, yang penting materi berita kita nyampe. Jadi itu teknik
keberanian mereka terbatas. Tetapi terlepas dari itu Sinar Harapan dan Indonesia
Raya di Jakarta. Indonesia Raya keberaniannya memang luar biasa,
terkait dengan kepribadian dan integritas Mochtar Lubis. Jadi itulah situasi
pers, sehingga Francois Reillon menganggap bahwa Mingguan Mahasiswa
Indonesia itu menegakkan suatu pers demokratis, model pers bebas yang
menjadi model kedepan. Tetapi itu semua berakhir di tahun 74, dibredel kan
dengan 9 tuduhan.
Pembredelannya cukup unik,
pertama Kopkamtib daerah atas perintah Kopkamtib pusat, memberlakukan keharusan
seluruh media di Jawa Barat memiliki Surat Izin Cetak. Selama ini dibawah
Jenderal HR. Darsono tidak ada mekanisme atau peraturan yang mengharuskan izin
cetak. Cukup Surat Izin Terbit (SIT) dari Depen. Tapi untuk mematahkan mingguan
Mahasiswa Indonesia dikeluarkan keharusan peraturan itu, oleh Mayjen TNI
Aang Kunaefi. Bahwa untuk pertama kali semua mendapat, kecuali Mingguan
Mahasiswa Indonesia itu atas perintah Kopkamtib. Kemudian menyusul lagi pencabutan
SIT dari Depen. Sembilan tuduhan, salah satunya mencampuri urusan politik
tingga tinggi, menghasut dan sebagainya.
Bagaimana karakteristik jurnalisme Mahasiswa Indonesia?
Kolom mingguan Mahasiswa Indonesia dari dulu itu berkembang
menjadi media dengan investigative report tidak seperti surat kabar
biasa, on the spot. Pengaruh politiknya luar biasa, bukan berarti
orang-orangnya hebat (tetapi ini juga menjadi salah satu faktor kualitas baik).
Tetapi selain itu dengan adanya mingguan Mahasiswa Indonesia gerakan
mahasiswa khususnya yang di Bandung ini. memiliki suatu media, itu suatu
kekuatan. Sebaliknya, mingguan Mahasiswa Indonesia termasuk kedekatannya
dengan suatu kelompok mahasiswa. Dia juga memiliki kekuatan, sinergi.
Lalu sebagaimana yang telah ditulis oleh M. A. W. Brower, itu Mingguan
Mahasiswa Indonesia itu punya hal lain. ia menulis apa yang tidak bisa
ditemukan di media lain. itu penerbit buku Kompas mengutip dari tulisan
M. A. W. Brower di buku saya mengenai peristiwa Malari dst. Jadi ada sinergi,
bukan suatu keluarbiasaan mahasiswa, tapi ada situasi sinergis yang membuat
saling menguatkan.
Kemudian opini publik, publik jenuh dengan berita monoton yang
menyuarakan tentang kekuasaan. Tidak berani membuka kelemahan yang ada, jadi
semua istilahnya Asal Penguasa Senang (ABS) lah. Tidak ada yang berani
mengungkap kebenaran. Semua ikut berbohong demi kekuasaan, kemudian muncul
mingguan Mahasiswa Indonesia yang menerjang itu semua, menerobos itu
semua. Segala sesuatu dengan prinsip yang penting sesuai dengan kebenaran.
Dengan adanya itu, menimbulkan dukungan publik yang luar biasa, itu terlihat
dari dia mempunyai tiras. Dibanding dengan media lain, Tiras yang dimiliki
mingguan Mahasiswa Indonesia ini luar biasa. Meskipun berbicara puluhan
ribu, belasan ribu tapi luar biasa. Koran lain, Pikiran Rakyat (PR)
beberapa kali menjelang peristiwa Malari. Dengan Pikiran Rakyat kita
satu percetakan, dia oplahnya hanya sekian, mingguan Mahasiswa Indonesia sekian
kali lipat.
Selain itu apa kelebihan lain Mahasiswa Indonesia?
Terbit di Bandung, Mingguan Mahasiswa Indonesia itu beredar
di seluruh Indonesia. Kemudian beberapa simpatisan senyap dikalangan
pemerintahan dikalangan pers. Saat itu Menteri Penerangan, dia suruh perguruan
tinggi berlangganan Mingguan Mahasiswa Indonesia, dikirim ke semua
perguruan tinggi seluruh Indonesia.
Dewan mahasiswa pada itu betul-betul efektif, muncul di semua
perguruan tinggi dan kemudian muncul di masyarakat dimulai dengan kota-kota
yang ada perguruan tingginya dan akhirnya di masyarakat. Bandung, sudahlah
tidak usah disebut. Jakarta cukup, namun Jakarta terlalu luas, tidak terlalu
menonjol. Tetapi orang tau persis dan kalangan politik tau. Seluruh anggota DPR
berlangganan, bayar!. Ada yang mengkoordinasi, baik PDI, waktu itu bukan PDI-P.
Itu sesudah 1971 ya. Sebelumnya juga begitu partai-partai, semua langganan.
Meskipun tidak selalu setuju dengan isinya. Terutama kelompok
politik Islam sering tidak terlalu setuju karena kritis. PNI itu tidak setuju
dengan Islam dijadikan sebagai ideologi politik, kemudian bentuk lain muncul
dari Nur Cholis Majdid, “Islam Yes, Politik No” itukan semuanya
sama. Nur Cholis Majdid pernah mengakui, dia terinspirasi dari sikapnya
mingguan Mahasiswa Indonesia, meskipun teman-teman HMI tidak mengakui
itu tapi Nur Cholis Majdid sendiri bilang dia terinspirasi. Nah, jadi ada di
DPR, kemudian lama-lama para penguasa juga, kalo gak baca MI dia juga
“Nanti kita gak tahu apa yang jadi aspirasi mahasiswa, ke arah mana mahasiswa
mau” karena mahasiswa harus diakui sebagai suatu kekuatan. Meskipun sering
disebut dikendali oleh ABRI, itukan klaim ABRI aja. Sampai ada partnership ABRI
dan mahasiswa. Itu semuanya di introdusir oleh jenderal-jenderal yang idealis,
bukan jenderal-jenderal yang tidak idealis. Jenderal yang idealis dengan
mahasiswa, karena mereka melihat aspirasinya sama dengan mahasiswa.
Tiga jenderal idealis yang saya selalu sebut namanya dalam tulisan
adalah Jenderal HR. Darsono (Pangdam Siliwangi), Jenderal Kemal Idris (Pangkostrad),
lalu Pak Sarwo Edhie. Mertuanya SBY, sayangnya SBY tidak mewarisi jalan pikiran
dan sikap politik, sikap hidup dari Pak Sarwo Edhie. Itu tiga jenderal idealis
dan mereka ada pengikutnya.
Lalu bagaimana dengan kondisi para Jenderal yang berada di
lingkaran Presiden Soeharto?
Ya, Tetapi kemudian di lingkaran Soeharto sendiri adalah, kalo kita
pinjam istilah PKI disebut dengan jenderal-jenderal reaksioner, mereka tidak
banyak jasa di dalam perubahan politik 66, yaitu dalam hal menjatuhkan PKI dan
Soekarno. Tetapi mengklaim diri paling berjasa, itu seperti jenderal Amir
Mahmud. Bahkan Jenderal Amir Mahmud ini, banyak sekali tindakannya yang
menyakiti mahasiswa. Sejak itu juga orde baru menjadi palsu, karena diklaim
oleh orang yang salah bukan oleh orang-orang yang mencetuskan dengan makna yang
sebenarnya.
Lantas apa yang menyebabkan anda menjadi aktivis pers pada saat
itu, sehingga bergabung dengan mingguan Mahasiswa Indonesia?
Sejak
SMA selain menjadi Ketua Organisasi Siswa, saya mendirikan majalah sekolah.
Majalahnya dijual, tetapi cukup diminati. Dari sekitar 500 siswa, 300an menjadi
pembeli. Terus terang ada sedikit konten politik, yang referensinya dari
majalah mahasiswa Bandung yang dikirimkan oleh aktivis mahasiswa yang pernah
datang ke Makassar mengikuti Kongres MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) di
Malino 1964.
Dunia kemahasiswaan Indonesia kala
itu terbelah antara kelompok yang dipengaruhi PKI dan PNI di satu pihak dan kelompok
independen yang lebih berbasis intra kampus dan cenderung menolak kampus dan
dunia kemahasiswaan didominasi organisasi ekstra kampus yang menjadi sayap
partai seperti CGMI, Perhimi, Germindo dan GMNI.
Sewaktu kemudian saya menjadi
mahasiswa di Bandung tak lama setelah pecahnya Peristiwa 30 September 1965,
masih pada tahun pertama kemahasiswaan saya, saya ditawari bergabung di
Mingguan Mahasiswa Indonesia yang didirikan Juni 1966 oleh sejumlah
aktivis mahasiswa anti Soekarno. Saya memulai sebagai reporter, staf redaksi,
redaksi sampai akhirnya menjadi pemimpin redaksi.
Tapi Mingguan Mahasiswa Indonesia
itu akhirnya dibreidel Kopkamtib/Kopkamtibda dan dicabut SIT (Surat Izin
Terbit)nya oleh Menteri Penerangan. Dikenakan 9 tuduhan berat seperti mencampuri
politik tingkat tinggi, menghina dan memfitnah Presiden, menghina dan memfitnah
Ibu Negara, mengadu domba pejabat negara, menyebarkan berita tidak benar yang
tak bisa dipertanggungjawabkan menghasut mahasiswa dan masyarakat, dan
sebagainya.
Banyak di antara tuduhan itu hingga
kini masih sering digunakan kalangan penguasa dari waktu ke waktu terhadap
mereka yang kritis terhadap penguasa. Landasan ideal yang saya gunakan saat
terjun ke dunia jurnalistik adalah menyampaikan kebenaran sebanyak-banyaknya yang
pada hakekatnya adalah menjaga agar tak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Motto
yang digunakan Mingguan Mahasiswa Indonesia waktu itu adalah 'Pembina
Insan Pancasila'.
Apa yang anda
lakukan setelah surat kabar Mahasiswa
Indonesia dibredel?
Setelah Mingguan Mahasiswa Indonesia dibreidel, pertama-tama
yang saya lakukan selama hampir setahun secara intensif adalah menulis artikel
mengkritisi penguasa, termasuk mengungkap latar belakang sesungguhnya berbagai
peristiwa politik. Pertama kali tentu mengenai Peristiwa 15 Januari 1974. Tapi
saya menjaga agar tak ada fakta palsu atau artifisial di dalam tulisan-tulisan
itu. Karena di tahun 1974 itu teknik fotokopi belum lazim, saya sengaja membeli
mesin lichtdruk. Hasil cetaknya biru seperti yang sering digunakan para
perancang bangunan. Cukup untuk bisa dibaca, walau tak seterang stensilan.
Saya tidak berani menyetensil, karena bisa dideteksi. Tapi ada
cukup teman mahasiswa yang membantu memoroduksi dan mengedarkan ke dosen,
mahasiswa dan bahkan ke beberapa anggota DPR. Katakanlah itu selebaran gelap.
Saya meniru apa yang pernah dilakukan aktivis mahasiswa 1960-1965 yang
mengedarkan selebaran yang mengkritisi rezim Soekarno yang kala itu sudah
otoriter dan cenderung berperilaku diktator. Terus terang ada beberapa anggota
DPR yang sering memberi donasi selain menjadi narasumber informasi yang confidential.
Waktu saya akhirnya bekerja untuk mencari nafkah di Jakarta,
menulis selebaran seperti itu, masih saya teruskan. Banyak dari isi dan data
dari selebaran itu kemudian saya olah kembali dan saya masukkan dalam buku pertama
saya 'Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter' (Penerbit Buku Kompas,
2004).
Apa saja tindakan rezim Orde Baru yang mengekang kebebasan pers
pada saat itu?
Pada
masa Soeharto, mulanya 1966-1967 ada harapan bahwa pers akan lebih bebas dalam
batas tertentu dibandingkan dengan masa Soekarno 1960-1965. Tapi dalam
perjalanan waktu, sejalan dengan makin kokohnya kekuasaan rezim, pers makin
coba dibatasi melalui Departemen Penerangan dan Kopkamtib/Kopkamtibda.
Izin terbit baru makin sulit dan
bahkan pada titik tertentu tak dikeluarkan lagi SIT. Antara 1967-1973 menjadi
kebiasaan teguran dan penyampaian larangan memberitakan topik tertentu, melalui
telepon, baik oleh pejabat Departemen Penerangan maupun terutama oleh
Kopkamtib/Kopkamtibda. Disebarluaskan apa yang disebut "kebebasan pers
yang bertanggung jawab". Sejauh mana pengertian bertanggung jawab itu
ditentukan berdasarkan selera penguasa, yang di suatu daerah dan daerah lainnya
berbeda-beda. Tapi secara umum, ada kesamaan, yaitu tegaknya sikap represif
penguasa terhadap pers.
Menjadi fenomena kala itu, sesudah
1968 sebagian terbesar institusi pers membatasi sendiri kebebasannya. Saat
terjadi Peristiwa Kerusuhan 5 Agustus 1973 di Bandung, pers nasional dan daerah
dengan patuh membatasi pemberitaan sesuai perintah per telepon dari Kopkamtib.
Berita kerusuhan itu hanya muncul singkat-singkat 1 kolom 2-3 paragraf, tanpa
foto peristiwa. Hanya Mingguan Mahasiswa Indonesia yang memberitakan
lengkap secara kronologis dalam beberapa halaman, dilengkapi foto-foto
peristiwa dan peta lokasi peristiwa. Dilengkapi analisis melalui editorial.
Akhirnya, keesokan hari beberapa
suratkabar utama ibukota mengutip seluruh maupun sebagian berita Mahasiswa Indonesia.
Pada masa-masa berikut, beberapa pers yang cukup berani akhirnya menerima
risiko pada Januari 1974, setelah Peristiwa 15 Januari 1974, berupa
pembreidelan. Saya bisa menyebut antara lain Harian Indonesia Raya,
Harian KAMI dan Mingguan Mahasiswa Indonesia, berupa pencabutan
SIT dan SIC.
Pada saat yang sama ada pembredelan
Harian Abadi, Harian Pedoman, Mingguan Berita Ekspres,
namun dengan alasan yang lebih spesifik secara politis maupun pertimbangan
lain. Sesudah 1974, dunia pers Indonesia juga mengalami beberapa kali
pencabutan SIT atau kemudian SIUP, hanya berdasar alasan-alasan subjektif
penguasa.
Nanti pada 1997 pers mulai bergeliat
dan lebih berani. Dan tiba-tiba setelah Peristiwa Mei 1998, makin berani, namun
kemudian beberapa di antaranya (terutama media baru yang diterbitkan oleh
sejumlah orang yang selama masa Soeharto menjalani 'hibernasi' politik) malah
kebablasan menjalankan kebebasan pers dan seringkali tak menghargai hak asasi
orang lain.
Apa artikel/tulisan
terakhir yang Anda buat di Mahasiswa
Indonesia?
Tulisan terakhir yang saya buat di edisi terakhir Mingguan Mahasiswa
Indonesia, adalah Editorial dan Headline mengenai Peristiwa 15
Januari 1974 berjudul Menjadi Huru Hara Besar. Edisi terakhir itu
dicetak cepat-cepat karena saya dan teman sudah memprediksi akan diberangus.
Kami mencetak sampai seluruh persediaan kertas habis. Kalau tak salah lebih
dari 90.000 eksemplar. Sejak tengah malam para agen yang sudah tajam
penciumannya sudah memborong habis. Sementara itu pengiriman untuk agen luar
kota pun sudah tuntas, untuk pulau Jawa dengan KA, untuk luar Jawa
disembunyikan dulu dan baru pagi hari dibawa ke kantor pos. Pembaca luar Jawa,
terbanyak di Bali. Pagi-pagi buta petugas Kopkamtibda yang mendapat perintah
dari Kopkamtib Pusat mencegah cetak dan atau menyita, tapi semua sudah bersih.
Saya kira, ada juga kesengajaan para perwira Siliwangi untuk membiarkan lolos.
Kalau mereka mau, yang dikirim sebagai paket pos pun bisa mereka hadang. Begitu
juga yang beredar di kota Bandung, bisa mereka sita dari para agen di
alun-alun.
Apa yang Anda
dan aktivis mahasiswa lain lakukan melawan tindakan otoriter dari rezim Orde
Baru?
Pada umumnya aktivis mahasiswa di Bandung tetap melanjutkan sikap
kritisnya dengan berbagai cara. Minimal ikut atau menyelenggarakan diskusi
kritis. Beberapa di antaranya melakukan semacam gerakan bawah tanah. Beberapa
lainnya melakukan struggle from within dalam tubuh kekuasaan. Saya ikut
menempuh kedua-duanya, meski saya kira dengan peran yang kecil saja. Tapi
bagaimana pun terpelihara suatu benang merah idealisme, terutama melalui
estafet tukar pikiran antar mahasiswa lintas generasi. Kita melihat bahwa
kemudian gerakan mahasiswa 1978 yang menuntut Soeharto mundur, gugatan melalui
Buku Putih, yang berakibat pendudukan sejumlah kampus di Bandung dan beberapa
kota lain. Disusul gerakan mahasiswa 1998, meski dalam nuansa dan posisi peran yang
sudah bergeser lebih sebagai ujung tombak daripada sekaligus sebagai gerakan
konsepsional yang sebelumnya menjadi ciri gerakan mahasiswa Indonesia.
Sedang sibuk
apa Anda sekarang?
Sebenarnya saya aktif di suatu lembaga studi sosial, politik dan
entrepreneurship, berkantor di Sentul City, Bogor. Selain itu mengasuh dua
media online. Saya sudah menghasilkan dua buku utama mengenai sejarah
kontemporer politik Indonesia. Di dalamnya selalu ada uraian mengenai peranan
mahasiswa sebagai kelompok kekuatan yang secara faktual memang ikut
mempengaruhi jalannya kehidupan bernegara dan politik, selama beberapa dekade
terakhir.
Saya sedang mempersiapkan beberapa buku baru, sambil membantu beberapa
teman menyusun buku. Salah satu pengalaman berharga, adalah saat menjadi mitra
penulisan Prof Dr Midian Sirait yang pernah menjadi Pembantu/Wakil Rektor ITB
Bidang Kemahasiswaan. Bukunya, Revitalisasi Pancasila.
Catatan-catatan tentang Bangsa yang Terus Menerus Menanti Perwujudan Keadilan
Sosial.
Saya menjadi mitra penulisan, tetapi sekaligus sebenarnya mendapat
pencerahan pemikiran. Almarhum adalah doktor bidang farmasi tetapi juga doktor
ilmu filsafat, yang sangat menguasai ilmu politik. Beliau ikut menggagas
pembaharuan struktur politik Indonesia. Sayangnya gagasan-gagasan semacam itu
selalu kandas di kaki kalangan kekuasaan negara.
Apa yang menjadikan Anda cukup aktif di sosial media, melihat usia
anda yang senior?
Saya aktif di media sosial, sebenarnya sekadar melanjutkan
kesenangan ‘menulis’,sambil meneruskan dan memelihara sikap kritis. Mungkin
saya terlalu subjektif, tetapi saya merasa dari waktu ke waktu kekuasaan negara
tak pernah dijalankan cukup baik. Orang bisa mengkritik kekuasaan Soekarno dan
Soeharto. Tetapi menurut saya penguasa-penguasa berikutnya tak lebih baik,
untuk tidak menyebutnya mengalami degradasi kualitatif. Juga ada kemasgulan,
kini kambuh penyakit pengkultusan bahkan mitologisasi pemimpin.
Apa yang Anda lihat dari perbedaan mahasiwa sekarang dengan
mahasiswa pada zaman anda?
Saya tak mau menghakimi mahasiswa sekarang dengan membandingkannya
dengan mahasiswa masa lampau, misalnya di zaman saya. Ada perbedaan situasi dan
tantangan zaman yang dihadapi. Kalau kritik dan anggapan yang lebih mengecilkan
peran dan performa kualitatif mahasiswa sekarang dibandingkan mahasiswa lampau,
itu belum tentu benar. Kalau toh memang benar ada semacam degradasi,
pertanyaannya adalah siapa yang membuat itu bisa terjadi? Tapi, ada hal nyata,
mahasiswa sekarang lebih fasih dengan teknologi IT yang lebih maju. Tinggal
soal bersama menentukan arah agar menjadi berfaedah dan produktif.
Bagaimana caranya agar suara mahasiswa saat ini dapat kembali
menggaung melalui dunia pers?
Soal bagaimana agar suara mahasiswa bergaung lagi, itu terpulang
pada para mahasiswa sendiri. Dalam situasi sosial-politik seperti sekarang ini,
suara mahasiswa sebagai kelompok yang secara historis punya posisi sebagai
faktor kontrol sosial, masih perlu. Hanya saja, jangan di balik, suara
mahasiswa dikendali dari kekuatan politik luar kampus dan atau kekuasaan
negara.
Mahasiswa harus lebih berinisiatif menyampaikan pendapat yang
bersifat sosial kontrol, bila diperlukan. Tak perlu juga berpretensi mencampuri
semua soal, kecuali ada kebuntuan dalam demokrasi. Kendala yang dihadapi
mahasiswa saat ini untuk menyampaikan aspirasi adalah terbatasnya ruang dan
perhatian yang diberikan media mainstream (media cetak, radio dan televisi)
dalam menyampaikan suara mahasiswa ke masyarakat. Satu dan lain hal terkait
faktor kepemilikan dan penguasaan media serta adanya pergeseran orientasi dan
idealisme media. Maka mahasiswa lalu memilih mekanisme unjuk rasa.
Mungkin mahasiswa harus lebih memperkuat akses media sosial dan online.
Mungkin mahasiswa mulai harus berpikir membangun sendiri media mainstream cetak
dan online. Tetapi persoalannya adalah kemampuan pengorganisasian dana
dan dilema waktu akibat kepadatan dan pengetatan jadwal perkuliahan.
Tanggapan Anda
terhadap sistem perkuliahan sekarang yang menuntut 3,5 tahun lulus?
Satu hal terlihat dalam pengetatan waktu dan jadwal perkuliahan
oleh otoritas pendidikan tinggi, adalah bahwa itu akan mempersempit ruang bagi
aktivisme mahasiswa. Penguasa negara memang tak berkepentingan dengan
'dwifungsi' mahasiswa selain dari tugas untuk belajar. Pasti pemerintah akan
memberi argumen biaya. Ini semua bisa diperdebatkan, tetapi situasi tersebut
sudah menjadi fakta.
Perguruan tinggi lebih 'berpeluang' menjadi pabrik tukang
sekolahan, daripada menjadi akademisi dengan kemampuan kepemimpinan sosial.
Tapi tentu mahasiswa bisa memanage situasi, lebih giat belajar dan lebih
pandai membagi waktu. Ada paradigma aktvisme yang harus dirobah. Menjadi
aktivis tetapi sekaligus menjadi manusia cerdas. Harus juga jujur mengakui
bahwa sebelum-sebelum ini tak sedikit mahasiswa menjadi aktivis sebagai
kompensasi kegagalannya dalam prestasi akademis.
Kita bisa melihat bahwa saat ini terlihat tak sedikit mantan
aktivis meraih posisi dalam kehidupan politik dan menjadi bagian kekuasaan
namun sekadar sebagai 'pengabdi' atau alat kepruk, dan tak mampu menjadi faktor
perbaikan kualitatif dalam kekuasaan. Akhirnya, semua terpulang kepada
kemampuan diri membentuk integritas pribadi. Perguruan tinggi hanya tempat
mempertajam kemampuan analitis dan kemampuan berlogika, serta tempat memahami
dan menguasai ketrampilan sistematika. Waktu kuliah yan diperketat jawabannya
adalah meningkatkan intensitas, dan kalau ingin tetap menjadi aktivis karena panggilan
idealisme, efisienkan waktu.
Di tengah
perkembangan teknologi, apa yang Anda harapkan bagi kemajuan pers terkhusus
dalam segi platform?
Perlu uraian
yang komperhensif dan lebih lengkap.
Tanggapan Anda
terhadap tindakan persekusi yang dilakukan oleh oknum polisi terhadap aktivis
persma Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung?
Pertanyaan ini saya lewatkan. Untuk kasus ini sudah ada reaksi yang
tepat dan relevan dari kalangan pers sendiri.
Pesan Anda
terhadap aktivis mahasiswa, terkhusus aktivis pers mahasiswa yang sedang
memperjuangkan hak rakyat?
Sudah
dijelaskan sebelumnya. Saya hanya ingin menambahkan teruskan saja perjuangan
untuk rakyat, karena merupakan salah satu dharma perguruan tinggi.
Kritik Anda
terhadap media massa kini, terutama TV dan media daring?
Pers Indonesia
kini cenderung terbawa kembali ke dalam posisi dan karakter quasi Agitprop (Agitasi dan Propaganda)
menjauhi bentuk pers dengan idealisme dan altruisme. Agitprop adalah model
komunikasi terburuk yang berada dalam posisi antitesis terhadap demokrasi. Pers
dengan demikian tak lagi berbeda dengan umumnya partai politik, organisasi
massa maupun korporasi, yang lebih mengutamakan pragmatisme berdasar
kepentingan sendiri. Fungsi kepentingan publik menjadi sebatas retorika belaka.
Hampir
semua pers media cetak, televisi, radio dan media online dengan hanya sedikit
pengecualian kini lebih merupakan corong kepentingan politik dan atau kekuasaan
maupun kepentingan ekonomi-bisnis korporasi. Ini adalah bagian dari situasi
yang sedang menuju sepenuhnya wealth
driven economy dengan derivates
secara berurutan berupa wealth driven
politic dan dengan sendirinya tak terelakkan wealth driven government sekaligus wealth driven law. Dulu, sepanjang bagian-bagian awal sejarah pers
Indonesia, institusi pers Indonesia kecuali pers milik pemerintah pada umumnya
didirikan dan dimiliki para jurnalis idealis. Tetapi kemudian, setidaknya pada
dekade terakhir ini pola kepemilikan institusi pers beralih kepada para
pemegang akumulasi uang berkuantitas besar, dan atau beberapa usaha pers lama
yang kini telah menjelma menjadi pemodal besar. Kaum jurnalis berubah posisi
menjadi sekedar barisan pekerja, sebagai kuli
tinta dalam artian sebenarnya. Dengan sendirinya, terjadi pula perobahan
karakter pers Indonesia.
Kita
tahu, bahwa para oligarch partai dan
kalangan konglomerasi kini ada dalam satu jaringan kepentingan. Memiliki
karakter, perilaku dan pragmatisme serta tujuan yang sama dalam ‘kompetisi’
kekuasaan. Hanya berbeda posisi antara yang sedang berkuasa dan yang tidak
sedang berkuasa per satu saat.
Dengan
situasi faktual itu, maka dalam kenyataan sehari-hari publik hanya akan
menemukan dan memperoleh informasi dan analisa seakan-akan objektif namun sebenarnya
paket komunikasi kepentingan belaka. Sudah lebih mirip dengan sekedar agitasi
dan propaganda, dengan cara membungkus yang berbeda dengan masa lampau. Dengan
sendirinya secara umum unsur informasi jujur, edukasi dan pencerdasan bangsa
dalam produk pers Indonesia makin melemah. Kalau ada, itu hanya dilakukan oleh
perorangan kalangan jurnalis yang memiliki sisa-sisa idealisme model lama.
Sementara yang dominan dikalangan pelaku jurnalistik adalah pragmatisme semata
yang berkalkulasi untung rugi. Generasi baru pelaku jurnalistik, dengan hanya
sedikit pengecualian, sudah terperangkap dalam jaring wealth driven.
Secara
khusus saya ingin memberi catatan tentang dua representan kelompok besar
(korporasi) media mainstream yang
sudah berusia panjang, yaitu Harian Kompas dan Majalah Tempo. Di antara media
yang ada, kedua media ini beserta media turunannya masing-masing semula masih
bisa dijadikan oleh publik sebagai dua jangkar referensi objektif untuk setiap
masalah. Tetapi, kini keduanya makin menunjukkan perpihakan subjektif
kepentingan, yang mulai sangat menonjol pada masa-masa menjelang Pemilihan
Presiden 2014 yang lalu. Dan itu berlangsung hingga kini. Publik dengan
demikian telah kehilangan dua jangkar referensi objektif, saat ingin menilai
sesuatu peristiwa dan saat menyelaraskan opininya masing-masing
sedekat-dekatnya kepada kebenaran dalam kaitan peristiwa. Hingga kini nyaris
belum muncul jangkar referensi objektif baru sebagai penggantinya. Bisa
dianalisis ini ada hubungannya dengan telah berobahnya pola kepemilikan dan
atau telah menjelmanya induk usaha dua media ini menjadi korporasi besar,
sehingga harus tunduk kepada dunia kapitalistis dengan segala pembawaannya di
mana mereka kini berada.

Komentar
Posting Komentar